Semula, pemain sepakbola tak mengenakan nomor punggung. Nomor punggung pertama kali diperkenalkan pada laga Arsenal kontra Chelsea pada 25 Agustus 1928. Setelah itu satu per satu tim mulai memakainya. Begitu juga liga-liga di berbagai belahan dunia.
Pada awalnya, tidak ada nomor keramat dan nomor khusus. Penomoran berdasarkan urutan starting line-up dari posisi pemain di belakang terus ke depan. Atau dari kiper ke penyerang. Kiper biasanya memakai nomor 1. Defender antara 2 sampai 6. Gelandang 7 sampai 11, dengan striker memakai nomor 9 dan 10.
Sebagai konsekuensi dari peran striker dan gelandang serang yang lebih mudah terkenal dibanding posisi-posisi lain, maka nomor 9 dan 10 pun lambat laun menjadi populer. Nomor itu lebih banyak dikenal dan disukai publik. Alhasil, nomor 9 dan 10 berubah menjadi nomor bergengsi.
Argentina pada Piala Dunia 1978 dan 1982 pernah mendobrak sistem mapan ini. Nomor kostum Tim Tango tidak dibagi berdasarkan posisi, tapi menurut alfabet nama pemain. Hasilnya sungguh tak lazim. Nomor punggung 1 dan 2 jatuh ke tangan pemain cadangan gara-gara nama mereka berawalan huruf A, Alonso dan Ardiles.
Seiring reformasi di dunia sepakbola, maka sejak 1990-an muncul fenomena baru. Nomor pemain tidak terbatas 23 angka, seperti halnya jumlah pemain satu skuad. Nomor pemain makin menggelembung, mirip penomoran pemain basket di NBA. Tak heran sekarang banyak dijumpai pemain bernomor 99, 88, 77 dan sebagainya.
Namun penomoran yang menggelembung itu dibatasi hanya pada level klub. Untuk pertandingan internasional, FIFA masih membatasinya hingga 23 angka atau sesuai jumlah skuad yang dibawa. (soccer)
